Ibnu Batutah merupakan penjelajah dunia yang pernah singgah ke
Nusantara. Pada abad ke-14, pria Maroko itu mampir ke Pasai, kesultanan
di wilayah utara Sumatra yang telah memeluk Islam. Batutah pun membuat
catatan bagaimana kehidupan di negeri tersebut.
Buku The Indonesia Reader, History, Culture, Politics,
-dengan editor Tineke Hellwig dan Eric Tagliacozzo– menulis bahwa Ibnu
Batutah melaporkan kehidupan masyarakat Muslim di utara Sumatera itu
dalam catatan hariannya.
Batutah menulis Sumatra dengan nama Jawa. Karena saat itu yang
terkenal di kalangan saudagar dunia adalah menyan jawi. Namun yang
dimaksud Batutah adalah Sumatera. Pulau di mana Pasai berada.
Dalam catatan itu, Ibnu Batutah sampai di pesisir Pasai setelah
menempuh perjalanan laut selama 25 hari dari India. “Pulau itu hijau dan
subur,” tulis Batutah sebagaimana dikutip Dream dari buku The Indonesia Reader, History, Culture, Politics, Selasa 18 November 2014.
Dia menulis tanaman yang banyak tumbuh di Pasai adalah pohon kelapa,
pinang, cengkeh, gaharu India, pohon nangka, mangga, jambu, jeruk manis,
dan tebu. Batutah juga menulis tumbuhan aromatik yang terkenal di
penjuru dunia hanya tumbuh di daerah ini –dulu memang terdapat komoditas
tumbuhan aromatik yang dihasilkan di daerah Barus.
Saat sampai di pelabuhan, masyarakat setempat menyambut Batutah dan
rombongan dengan ramah. Rakyat di sana datang dengan membawa kelapa
pisang, mangga, dan ikan, untuk ditukarkan dengan barang lain yang
dibawa pedagang yang singgah.
Menurut Batutah, perwakilan dari panglima kesultanan juga mendatangi
rombongannya. Pejabat itu menanyakan maksud kedatangan mereka. Setelah
itu, rombongan Ibnu Batutah diizinkan mendarat di pantai. “Lantas kami
menuju ke daratan ke pelabuhan, sebuah kampung besar di pantai dengan
sejumlah rumah, yang disebut Sarha.” Menurut catatan Batutah,
perkampungan itu berjarak sekitar empat mil dari kota raja.
Batutah juga mencatat bahwa Sultan Pasai, al-Malik az-Zahir, sangat
ramah. Rombongan itu diterima dengan tangan terbuka. Bahkan, sang sultan
meminjamkan salah satu kudanya –dan kuda lainnya– untuk rombongan
Batutah yang singgah itu. “Saya dan teman-teman saya berkuda, dan kami
menunggang kuda ke kota raja, kota Sumatra, sebuah kota yang besar dan
indah dilengkapi dengan dinding kayu dan menara kayu.”
Dalam catatan itu, Batutah juga terkesan dengan keyakinan Sultan
al-Malik az-Zahir. Selain terbuka, Sultan juga pecinta teologi. Sultan
merupakan penganut Islam yang taat dan memerangi segala perompakan.
Sultan juga memberikan perlindungan kepada kaum non-muslim yang membayar
ajak kepada kesultanan.
Selain tegas, Sultan al-Malik juga digambarkan sebagai orang yang
rendah hati, “yang berjalan kaki saat menuju tempat salat Jumat.”
Saat menuju istana, Batutah melihat sejumlah tombak tertancap di
kanan-kiri jalan, di dekat gerbang. Itu tandanya, siapapun tak boleh
lewat. Siapa saja yang menunggang kuda juga harus turun. Sehingga
Batutah dan rombongannya harus turun dari kuda mereka.
Saat di pendapa istana, rombongan Batutah disambut salah satu letnan
kesultanan yang ramah. Sang letnan menyambut mereka dengan berjabat
tangan. “Kami duduk bersama dia dan dia menulis surat kepada Sultan
untuk menginformasikan kedatangan kami.”
Setelah jamuan makan, sang letnan mengajak rombongan Batutah
berjalan-jalan di taman berpagar kayu. Di bagian tengah dibangun sebuah
rumah kayu dan berkarpet. “Kami duduk di sini bersama letnan.”
Setelah itu, datanglah pejabat kesultanan, amir Dawlasa, dengan
membawa dua pelayan perempuan dan dua laki-laki dan berkata, “Sultan
mengatakan kepadamu bahwa persembahan ini sebanding dengan hartanya,
tidak seperti Sultan Muhammad [Sultan India]”. Setelah itu, sang letnan
meninggalkan mereka, rombongan mereka beralih menjadi tanggung jawab
amir Dawlasa.
Kebetulan, Ibnu Batutah sudah kenal dengan amir Dawlasa, sebab pernah
menghadap Sultan Delhi bersama-sama. Ibnu Batutah pun bertanya, kapan
Sultan Pasai bisa menemui rombongannya. Dan amir Dawlasa pun menjawab,
“Ini adat negeri kami bahwa pendatang baru menungu tiga malam sebelum
menghadap ke Sultan, mungkin dia [tamu] sudah pulih dari kelelahan
selama dalam perjalanan.”
Batutah dan rombongan pun akhirnya bertemu dengan Sultan al-Malik
az-Zahir pada hari Jumat. Mereka bertemu dan berbincang di sebuah masjid
setelah salat Jumat. Sultan meminta Batutah menceritakan kabar Sultan
Muhammad di India.
Setelah pertemuan itu, Sultan al-Malik pun meninggalkan masjid. “Saat
meninggalkan masjid, dia [Sultan] disediakan gajah dan sederetan kuda.
Adat mereka, Sultan menunggang gajah, pengiring dan wakil menunggang
kuda.” Namun saat kunjungan Batutah itu, Sultan lebih memilih menunggang
kuda bersama tamunya ini.
Batutah berada di Pasai selama 15 hari. Tibalah saatnya mereka
berpamitan. Rombongan ini tak bisa meneruskan perjalanan ke China karena
kondisi cuaca yang buruk. Batutah dan rombongan pun berpamitan kepada
Sultan.
“Dia [Sultan] menyediakan perahu untuk kami, mengantar kami, dan memberi bekal banyak kepada kami. Semoga Tuhan membalas dia!”
No comments:
Post a Comment